Minggu, 06 Mei 2012

ASAL USUL KOTA JUWANA

Kota juwana identik dengan TUGU JUWANA  dan asal mulanya 
Sejarah Kepulauan Indonesia umumnya dan Tanah Jawa khususnya, ditemukan dari beberapa sumber yang agak berlainan satu dengan yang lain.Menurut keterangan yang didapat dalam Kitab Djojobojo, sebagian Tanah Jawa tadinya adalah sebuah pulau kosong yang angker dan sangar, dimana sama sekali belum ada penduduk manusianya.
Sementara menurut sejarah yang berdasarkan atas pendidikan, bahwa antara 2000 tahun yang telah lampau dipulau ini sudah ada penduduk aslinya, hanya pikiran mereka belum terbuka, hingga masih merupakan orang purba yang belum mengerti tata susila, belum mengerti caranya membuat rumah dan belum mempunyai tempat tinggal yang tetap. Mereka masih menggunakan batu yang dipertajam guna senjata untuk memburu maupun untuk berkelahi.Hidupnya adalah sangat sederhana dan selalu pindah kesana-kemari, hingga agak mirip dengan hidupnya burung atau yang didalam Kitab Djojobojo dikatakan Zman Kukilo.Lain sumber juga mengatakan, bahwa pada zaman Chun Ch’lu, antara 500 – 600 tahun sebelum Christus, Tiongkok berada didalam keadaan yang luar biasa kacaunya. Mulai dari Ping Wang tahun ke 49 sehingga Chin Wang tahun ke 39, yang sama sekali meminta tempo 242 tahun. Api peperangan yang mendasyat senantiasa menimpa Tionkok hingga rakyatnya merasa hidup dalam terror.
Oleh karena itu beberapa kelompok orang-orang disana berduyun-duyun menuju ke Tjempa. Ditempat inipun mereka merasa tidak aman karena gangguan terrorisme dari “The Reign of Terror” dilain pihak, maka mereka berduyun-duyung bersama menaiki perahu Djong untuk menuju keselatan dengan pikiran nekat dan kepercayaan mantap bahwa akhirnya mesti mendapat tempat guna berlindung. Demikianlah akhirnya diantara ribuah perahu Djong tadi sebagian ada yang mendarat di Philipina, sebagian ada yang mendarat di Borneo, Malay Peninsula, Sumatera dan sebagian pula ada yang mendarat di Pulau Jawa dan Pulau Bali.Di tempat-tempat tersebut, mereka segera tercocok tanam dan beternak, akan tetapi lambat lain pakaian mereka telah habis rusak, hingga terpaksa cara berpakaian mereka seperti pada waktu zaman purba di Tiongkok, sehingga setelah ditemukan kapas dan randu kapok di hutan-hutan yang mereka jadikan benang, barulah mereka dapat membuat alat tenun yang primitive sekali guna menenun dengan cara amat sederhana.Menurut sumber itu, diterangkan juga bahwa asal-usul penduduk Tanah Jawa memang sebagian dari Hindu dan sebagian pula dari Tiongkok.
Untuk membuktikan kebenarannya, kita dapat membedakan antara penduduk asli dikepulauan Indonesia umumnya terdiri dari sua type yaitu disatu fihak typenya Hindustania, kulitnya agak hitam jengat / sawo matang dengan matanya tidak sipit; tetapi dilain tempat tidak sedikit yang berkulit kuning langsat, matanya agak sipit, banyak mirip atau malah 100% seperti orang Tionghoa, hingga dalam masyrakat tidak jarang terjadi diantara orang Indonesia sendiri menyangka bahwa orang yang berhadapan dengan dirinya itu dikira orang Tionghoa. Hanya model pakaianya atau gigi pangur saja yang digunakan sebagai tanda guna membedakannya.Pada zaman itu Tanah Jawa diselumbungi udara Animisme begitu rupa.
Banyak orang suka memuja apa yang dipandangnya suci, suka sekali perihatin untuk menjalani ilmu-ilmu gaib dan kuat bertapa yang mempunyai pengaruh begitu mujizad.Misalnya walaupun justru udara bersih, matahari bersinar terang gelang-gemilang di atas angkasa yang biru, tetapi tiba-tiba datang seorang yang telah dipuncak pertapaannya, setelah berdiri dibawahnya sinar matahari sambil mencakupkan kedua tangannya dan berdoa sambil kedua matanya dimeramkan dan mendongkakan kepalanya, maka tidak lama kemudian awan mendung sekoyong-koyong bergulung-gulung begitu tebal dan sebentar pula hujan turun dibarengi suara angin menderu dan suara petir menyambar-nyambar kian kemari, hingga seolah-olah dunia sedang kiamat.
Demikianlah apa yang dikejar orang dalam jaman itu adalah “kedikjayaan”, sedang hal kemajuan lahir atau kekayaan lahir sama sekali tidak dimengerti. Masa itu Tanah Jawa merupakan suatu pulau yang amat kaya raya dengan kekayaan alam, yang sangat menarik perhatiannya perantau-perantau bansa Hindu, hingga kemudian berduyun-duyun datang kemari untuk berdagang dan untuk Bantu membuka pikiran rakyat yang masih diliputi oleh alam gelap, dan memimpin mereka untuk bercocok tanam, pertanian dan peternakan, sampai pula pada pemerintahan.Oleh karenanya maka pengaruhnya kesopanan dan kebudayaan Hndu di Indonesia umumnya dan Tanah Jawa khususnya dapat disejajarkan denan pengaruh kesopanan dan kebudayaan dari bangsa Romeinen diseluruh Europe.Antara rombongan bansa Hindu yang datang kemari, terdapat juga keturunan dari Warman Dynasty, yang selanjutnya diangkat menjadi Raja Hndu di Pulau Jawa yang pertama-tama, dengan memakai nama Kerajaan Tarumanegara, sedangkan Raja tersebut bergelar Purna Warman.Selain di Pulau Jawa, daerah lainpun seperti Kutai, Sukadana, Palembang dan lain-lain bagian dari kepulauan Indonesia mereka mengangkat juga raja-raja yang diangkat bangsa Hindu turunan dari Warman guna memerintah daerah-daerah yang dikunjungi.Waktu itu agama Hindu yang berkembang pertama kali adalah Brahmanisme, dimana tingkat derajat profesi manusia terbagi menjadi empat golongan.
Golongan pertama adalah Brahmana, ialah terdiri dari kaum Pendeta yang dipandang sebagai kaum cardinal.Golongan kedua adalah Satriya, ialah terdiri dari kaum Bangsawan.Golongan ketiga adalah Wasea, ialah terdiri dari kaum dagang, petani, tukang dan pekerjaan yang agak tinggi.Golongan keempat adalah Sudra, ialah tediri dari kaum buruh rendah dan kaum budak.Jadi pada saat itu sudah terjadi system pendidikan yang professional untuk masing-masing profesi yang dibagi menjadi empat golongan profesi dalam masyarakat. Sama halnya dengan jurusan professional dalam pendidikan moderen sekarang ini.Tapi system golongan professional ini tidak berjalan mulus karena golongan Sudra sering mendapat perlakuan tidak adil, yang begitu nyata membedakan tingkatan dan kaum.Lantaran adanya penyelewengan pelaksanaan system golongan professional ini maka tidak heran Agama Buddha dapat disambut dengan hangat sekali dari penduduk di Pulau Jawa, hingga bergantinya Agama Brahmanism ke Agama Buddha yang terjadi dengan sangat damai.
Pada Masehi tahun 414, Fahian, perantau bansa Tionghoa yang termasyur, telah tiba di pulau ini bersama empat orang kawannya. Mereka selain menjadi orang-orang Tionghoa pertama menginjakkan kakinya di sini dan terus menurunkan keturunannya sehingga merupakan sebagian golongan Tionghoa peranakan yang sebagai bangsa Asing, kecuali bangsa Hindu yang pertama kali datang di pulau ini.Menurut diary (catatan harian) dari Fahian, bahwa asal usulnya nama Pulau Jawa itu disatu fihak ada yang mengatakan berasal dari syairnya Ramayana, seorang Hindu (pendekar penyair) dalam bahasa Sanscrit yang telah hidup antara 300 tahun sebelum Christus, dimana antaralain dalam sjair itu telah menguraikan “Jawadwipa”, yang artinya : Jawa = Pahala, dan Dwipa = Pulau, sehingga “Jawa Dwipa” yang telah menjadi namanya pulau ini adalah membawa arti “Pulau dari Pahala” atau “Pulau Jasa”.Sementara menurut fihak lain ada dikatakan, bahwa waktu pertama kali bansa Hindu datang kemari telah melihat tetanaman Juwawut, semacam bahan makanan, juga dijual dipasar untuk bahan makanan burung perkutut piaraan, yang bumbuh begitu subur dan gemuk sekali dipulau ini, sehingga pulau ini dinamakan Juwawut dan penduduknya dinamakan Juwana.Kemudian oleh rombongan Tionghoa tadi, karena kata-kata Juwana mengandung suara huruf “Ju” = “Kasar” atau “Rendah kwalitasnya”, bahkan karena suara itu ditekan agak keras menjadi suara “Jao” = “Bau Busuk” atau “Orang yang rusak moralnya”, maka untuk menandai pelayaran Confucius tentang Tjiang Sim Pi atau teposeliro, orang Tionghoa merubah kata “Juwana” menjadi “Wana” yang bukan saja menjadi kata lebih singkat, tetapi artinya lebih baik bagi orang Tionghoa umumnya dan golongan lain-lain yang mengerti huruf dan bahasa Tionghoa.Sebutan “Wana” terhadap penduduk Pulau Jawa khususnya dan kepulauan Indonesia umumnya memiliki arti : Tanah yang subur; tetumbuhan yang tumbuh dengan subur; dan kaya raya.Sebutan “Wana” terhadap penduduk asli dari Tanah Jawa khususnya dan Indonesia umumnya itu jelas sudah bukan berarti ejekan atau hinaan, karena maksud yang benar dari kata-kata tersebut tak lain dan tak bukan adalah : Orang dari negeri yang tanahnya subur atau kaya.Lebih jauh dari keterangan tersebut, bukan saja orang-orang Tionghoa dalam zaman itu tidak suka menghina golongan bangsa lain, bahkan sudah begitu hati-hati untuk menjaga agar supaya dalam kata-katanya tidak sampai menyinggung perasaannya golongan bangsa lain, yang mana terbukti dihapuskannya suara kata “Jao” yang diartikan kurang baik.Sementara bukti atas kebenaran bahwa penduduk asli dikepulauan ini disebut Juwana, adalah dengan adanya nama kota Juwana, suatu tempat di daerah Jawa Tengah terletak antara Pati – Rembang. Menurut penuturan dalam zamannya Dempoawang (Sam Poo Twa Lang) waktu ia sampai ditempat yang dimaksud diatas lalu menayakan kepada seorang penduduk asli nama tempat tersebut, tetapi oleh penduduk setempat menyangka tamu yang datang menayakan kebangsaanya (maklum belum bisa bahasa Melayu yang sekarang disebut bahasa Indonesia serta jarang ketemu orang Asing), maka dijawablah “Juwana”.Oleh karena itu maka tempat tadi selanjutnya disebut Juwana hingga saat ini menjadi perkampungan Nelayan yang sukses di Kabupaten Pati.


Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Bluehost